Pakar Sebut Revisi UU Pemilu Harus Berpedeoman ke Putusan MK yang Hapus Presidential Threshold
JAKARTA, KOMPAS.com
Titi Angraini, seorang dosen hukum pemilu di Universitas Indonesia, menegaskan pentingnya agar revisi Undang-Undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dilakukan berdasarkan putusan terbaru dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah menghapus ambang batas pencalonan presiden, atau yang lebih dikenal sebagai presidential threshold.
Menurut berita terkini, revisi terhadap UU Pemilu kini telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2025 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).
Titi menyatakan, “Keputusan yang diambil saat ini seharusnya menjadi pedoman bagi para pembuat undang-undang, presiden, dan DPR.” Ia menyampaikan hal ini saat ditemui di Gedung MK, Jakarta Pusat, pada Kamis (2/1/2025).
Lebih lanjut, ia menekankan bahwa pemerintah dan DPR tidak seharusnya berupaya untuk menyimpangkan putusan MK tersebut.
Baca juga: MK Hapus Presidential Threshold 20 Persen, Apa Dampaknya?
Titi mengingatkan bahwa publik akan memberikan perlawanan jika DPR mencoba untuk mengubah putusan MK, seperti yang pernah terjadi ketika DPR merevisi UU Pilkada yang tidak sesuai dengan keputusan MK sebelumnya.
“Sejarah mencatat bahwa ketika parlemen berusaha mereduksi kekuatan putusan MK, masyarakat akan bereaksi dengan sangat kuat,” tegas Titi.
Ia juga berharap agar Presiden Prabowo Subianto dapat menjadi penjaga yang baik atas putusan MK ini.
“Kami sangat berharap Presiden Prabowo dapat menjadi pelopor dalam menegakan keputusan MK nomor 62 tahun 2024,” tambahnya.
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden, Semua Parpol Bisa Usung Capres
Titi menjelaskan bahwa putusan MK yang dibacakan hari ini bersifat erga omnes, yang artinya berlaku untuk semua tanpa terkecuali dan mulai berlaku segera setelah diumumkan, kecuali jika dinyatakan lain dalam putusan tersebut.
“Putusan ini tidak mencantumkan adanya penundaan pemberlakuan. Oleh karena itu, sesuai dengan prinsip erga omnes dan sifat putusan MK yang final serta mengikat, maka putusan ini langsung berlaku. Tidak ada ruang untuk debat mengenai penerapan putusan ini pada 2029,” jelas Titi.
Sebelumnya, diberitakan bahwa MK memberikan lima poin pedoman mengenai rekayasa konstitusi setelah menghapus ketentuan presidential threshold yang terdapat dalam Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Wakil Ketua MK, Saldi Isra, menambahkan bahwa pedoman ini sangat penting untuk dipertimbangkan oleh para pembuat undang-undang dalam merevisi UU Pemilu, dengan tujuan untuk mencegah terlalu banyak pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berpotensi membingungkan pemilih.
“Terlalu banyaknya pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak menjamin dampak positif terhadap perkembangan dan keberlangsungan praktik demokrasi presidensial di Indonesia,” ungkap Saldi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, pada Kamis (2/1/2025), seperti yang dilansir dari Antara.
Oleh karena itu, ia menekankan bahwa dalam revisi UU Nomor 7 Tahun 2017, pembuat undang-undang perlu melakukan rekayasa konstitusi dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang ada.
Baca juga: 5 Pedoman Pencalonan Presiden dari MK Usai Hapus Presidential Threshold
Berikut adalah lima poin pedoman dari Mahkamah Konstitusi terkait pencalonan presiden setelah dihapuskannya presidential threshold:
- Seluruh partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu berhak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
- Usulan pasangan capres-cawapres oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak lagi bergantung pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
- Dalam mengusulkan pasangan capres-cawapres, partai politik peserta pemilu dapat menjalin kerja sama, asalkan tidak menyebabkan dominasi yang mengakibatkan terbatasnya pilihan calon dan pilihan pemilih.
- Partai politik yang tidak mengusulkan pasangan capres-cawapres akan dikenakan sanksi berupa larangan untuk ikut serta dalam pemilu pada periode berikutnya.
- Perumusan rekayasa konstitusi yang dimaksud, termasuk perubahan UU Pemilu, harus melibatkan partisipasi dari semua pihak yang berkepentingan terhadap penyelenggaraan pemilu, termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan mengedepankan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
Ikuti berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponsel Anda. Pilih saluran favorit Anda untuk akses berita Kompas.com melalui WhatsApp Channel: https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan Anda telah menginstal aplikasi WhatsApp.